Rabu, 21 November 2012
SUBAK (dikutip dari wikipedia)
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali.
Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. (en) [2] Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.
Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian, yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.
Pada tahun 2012 ini UNESCO, mengakui Subak (Bali Cultur Landscape), sebagai Situs Warisan Dunia,pada sidang pertama yang berlangsung di Saint Petersburg, Rusia
nahhhh setelah sekian yang saya copy paste, saya akan menampilkan foto-foto yang saya ambil di Jatiluwih Tabanan
tapi sebelumnya saya mohon maaf karna fotonya brumbun akibat foto dari mobil -_-
Kamis, 18 Oktober 2012
Song Sombah
Dirumah saya terdapat 3 song sombah, berikut gambarnya
Song sombah adalah nama saluran air bagi umat beragama hindu. Setiap rumah biasanya memiliki song sombah yang beragam jumlahnya.
Song sombah biasanya diberi canang, banten saiban dan juga segehan untuk menetralisir butha kala dan juga agar butha kala tidak masuk kedalam lingkungan rumah.
Selain itu, guna song sombah juga agar tidak terjadi banjir saat hujan. Jadi air yang menggenang dapat mengalir ke saluran pengairan
Tetapi, menurut orang-orang jaman dulu ceracaban air dari genteng tidak boleh sampai keluar rumah maka dari itu song sombah diberi banten/canang/segehan
Perang Pandan (dikutip dari liputan 6)
Tenganan, satu dari tiga desa Bali Aga selain Trunyan dan Sembiran, merupakan desa di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, di timur Bali, dikenal sebagai masyarakat yang taat terhadap peninggalan adat leluhur.
Warga di tenpat itu turun temurun, dari generasi ke generasi, hidup dalam kesetiaan aturan yang dibuat para pendahulu. Hal ini terlihat dari kehidupan warga desa, baik anak kecil maupun orangtua, memegang teguh warisan budaya, termasuk desa adat yang tak seperti desa kebanyakan di Bali.
Makna sembahyangan Hindu Tenganan bagi warga Desa Tenganan: manusia adalah manusia, tidak ada urusannya dengan segala jenis lapisan kelas. Pria dan wanita dipandang sama dan saling terkait, bahkan permukiman di tempat itu juga dibangun dengan cara yang unik.
Peran Dewa Indra dalam menumpas raja mereka yang lalim, Maya Denawa, melatarbelakangi keyakinan warga di tempat itu. Inilah alasan upacara-upacara persembahan terhadap sang Dewa Perang begitu menonjol.
Masyarakat Tenganan menggelar rangkaian prosesi Ngusaba Sambah, upacara keagamaan terbesar dan terpanjang di Bali Aga, selama satu bulan. Satu ritual yang tidak bisa dipisahkan, yakni menjemput simbol dewa. Satu per satu wujud para dewa diturunkan dan hanya gadis-gadis perawan yang membawanya dari bale penyimpanan, tempat pusaka dilindungi.
Kebutuhan upacara agama sangat vital bagi warga desa di bawah kaki Bukit Tenganan. Bayangkan, setidaknya ada 40-an pura tersebar di desa seluas 917,2 hektare itu.
Pagi masih basah ketika warga desa bergerak ke Pura Kubulanglang di puncak Bukit Tenganan. Selain sebagai tempat peribadatan, pura di batas paling utara desa itu juga merupakan areal suci yang tak bisa lepas dari prosesi Ngusaba Sambah. Para muda-mudi pun bersiap naik ke puncak bukit
Sesungguhnya itu adalah rangkaian prosesi penenangan batin. Prosesi yang cuma dilakukan setahun sekali pada bulan kelima dalam kalender Tenganan. Rangkaian panjang yang puncaknya adalah Perang Pandan.
Bagi warga desa menjaga tradisi kuno sama pentingnya dengan menjaga harga diri. Atraksi masa lampau mereka abadikan lewat sebuah permainan yang boleh jadi saat ini terbilang ketinggalan zaman.
Begitu juga dengan sabung ayam atau tajen, tradisi yang terekam sejak lama di Tanah Dewata. Bagi lelaki Bali, khususnya warga Tenganan, ayam adalah simbol kejantanan.
Menghormati Dewa Indra adalah harga mati. Dewa Pertempuran yang dalam ritual tahunan itu bakal mereka wujudkan dalam ajang perang pandan.
Selain membawa sesajen ibu-ibu juga ikut mempersiapkan perang pandan dengan mencari dan memotong-motong daun pandan. Hari besar dari prosesi Ngusabah Samba tiba.
Perang pandan atau mekare-kare, momen acara yang ditunggu-tunggu memecah sejumlah warga pada kesibukan masing-masing. Pembagian tugas itu adalah tradisi tua, jauh sebelum Bali ditaklukkan Majapahit sekitar abad ke-14.
Senjata inti dari atraksi perang pandan adalah daun pandan berduri yang diambil dari sekitar Bukit Tenganan, meski ada pula yang tumbuh di perkampungan.
Sebelum acara dimulai warga melakukan ritual melelawang atau berkeliling desa.
Dari Pura Banjar, benda pusaka dan simbol dewa diarak sebagai prosesi wajib. Perang pandan tak akan digelar sebelum arak-arakan untuk keselamatan ini kembali ke Pura Banjar.
Tak ada aturan baku dalam perang pandan. Lelaki dari desa yang mengklaim keturuan dari India itu memegang potongan-potongan daun berduri dan tameng rotan. Perang pandan pun dimulai.
Semakin cepat tempo selonding mengalun, semakin beringas petarung menancapkan pandan. Daging yang robek dan cucuran darah segar adalah wujud penghormatan terhadap Dewa Indra.
Warga di tenpat itu turun temurun, dari generasi ke generasi, hidup dalam kesetiaan aturan yang dibuat para pendahulu. Hal ini terlihat dari kehidupan warga desa, baik anak kecil maupun orangtua, memegang teguh warisan budaya, termasuk desa adat yang tak seperti desa kebanyakan di Bali.
Makna sembahyangan Hindu Tenganan bagi warga Desa Tenganan: manusia adalah manusia, tidak ada urusannya dengan segala jenis lapisan kelas. Pria dan wanita dipandang sama dan saling terkait, bahkan permukiman di tempat itu juga dibangun dengan cara yang unik.
Peran Dewa Indra dalam menumpas raja mereka yang lalim, Maya Denawa, melatarbelakangi keyakinan warga di tempat itu. Inilah alasan upacara-upacara persembahan terhadap sang Dewa Perang begitu menonjol.
Masyarakat Tenganan menggelar rangkaian prosesi Ngusaba Sambah, upacara keagamaan terbesar dan terpanjang di Bali Aga, selama satu bulan. Satu ritual yang tidak bisa dipisahkan, yakni menjemput simbol dewa. Satu per satu wujud para dewa diturunkan dan hanya gadis-gadis perawan yang membawanya dari bale penyimpanan, tempat pusaka dilindungi.
Kebutuhan upacara agama sangat vital bagi warga desa di bawah kaki Bukit Tenganan. Bayangkan, setidaknya ada 40-an pura tersebar di desa seluas 917,2 hektare itu.
Pagi masih basah ketika warga desa bergerak ke Pura Kubulanglang di puncak Bukit Tenganan. Selain sebagai tempat peribadatan, pura di batas paling utara desa itu juga merupakan areal suci yang tak bisa lepas dari prosesi Ngusaba Sambah. Para muda-mudi pun bersiap naik ke puncak bukit
Sesungguhnya itu adalah rangkaian prosesi penenangan batin. Prosesi yang cuma dilakukan setahun sekali pada bulan kelima dalam kalender Tenganan. Rangkaian panjang yang puncaknya adalah Perang Pandan.
Bagi warga desa menjaga tradisi kuno sama pentingnya dengan menjaga harga diri. Atraksi masa lampau mereka abadikan lewat sebuah permainan yang boleh jadi saat ini terbilang ketinggalan zaman.
Begitu juga dengan sabung ayam atau tajen, tradisi yang terekam sejak lama di Tanah Dewata. Bagi lelaki Bali, khususnya warga Tenganan, ayam adalah simbol kejantanan.
Menghormati Dewa Indra adalah harga mati. Dewa Pertempuran yang dalam ritual tahunan itu bakal mereka wujudkan dalam ajang perang pandan.
Selain membawa sesajen ibu-ibu juga ikut mempersiapkan perang pandan dengan mencari dan memotong-motong daun pandan. Hari besar dari prosesi Ngusabah Samba tiba.
Perang pandan atau mekare-kare, momen acara yang ditunggu-tunggu memecah sejumlah warga pada kesibukan masing-masing. Pembagian tugas itu adalah tradisi tua, jauh sebelum Bali ditaklukkan Majapahit sekitar abad ke-14.
Senjata inti dari atraksi perang pandan adalah daun pandan berduri yang diambil dari sekitar Bukit Tenganan, meski ada pula yang tumbuh di perkampungan.
Sebelum acara dimulai warga melakukan ritual melelawang atau berkeliling desa.
Dari Pura Banjar, benda pusaka dan simbol dewa diarak sebagai prosesi wajib. Perang pandan tak akan digelar sebelum arak-arakan untuk keselamatan ini kembali ke Pura Banjar.
Tak ada aturan baku dalam perang pandan. Lelaki dari desa yang mengklaim keturuan dari India itu memegang potongan-potongan daun berduri dan tameng rotan. Perang pandan pun dimulai.
Semakin cepat tempo selonding mengalun, semakin beringas petarung menancapkan pandan. Daging yang robek dan cucuran darah segar adalah wujud penghormatan terhadap Dewa Indra.
Pupuh Ginanti
Pupuh ginanti merupakan puisi bali tradisional, yang memiliki aturan yaitu dalam satu bait terdiri dari 6 baris, setiap baris terdiri dari 8 suku kata yang mengikutinya, dan masing-masing suku kata berakhiran dengan bunyi vocal. Adapun aturan dalam pembuatan pupuh Ginanti yaitu : 8u,8i,8a,8i,8a,8i
Saking tuhu manah guru (8u)
Mituturin cening jani (8i)
Kaweruhe luir senjata (8a)
Ne dadi prabotan sai (8i)
Ka anggen ngaruruh merta (81)
Seenun ceninge urip (8i)
Juga terdapat versi lainnya :
Tambete ngawinang lacur,
Bulak balik manumadi,
Bingkih malaibin duhka,
Dekah nguber sukan ati,
Ngalih idup mati bakat,
Ngalih bajang tuwe panggih
Tambete tan liyan puniku,
Kadi kranan sami-sami,
Krana jenged kadi jantra,
Suka duhka malinder panggih,
Jani sedih nyanan girang,
Suwud girang sedih malih
Rabu, 26 September 2012
Kawasan Desa Adat Celuk
Selain Pura Desa, juga terdapat Pura Dalem
Berikut adalah tampilan foto-foto kawasan Pura Dalem
Di bawah ini merupakan Pura yang terdapat di sebelah Pura Dalem yaitu Pura Prajapati
Kemudian terdapat juga Pura yang bernama Pura Bale Agung
Tentu di setiap desa pasti terdapat bale banjar, paud, dapur, dan sekolah
Berikut foto-fotonya :
PAUD
Tempat bermain anak-anak paud terletak di Bale Banjar seperti pada gambar dibawah ini
Dibawah ini adalah suasana Setra Adat Celuk
Di Setra ini tidak ada kuburan karena baru diadakan pengabenan massal tanggal 29 Juli 2012
Kemudian terdapat SD 3 Celuk dan TK Kumara Jaya
Kemudian, terdapat dapur
Yang bekerja di dapur adalah Ayah Suci
Ayah Suci dipilih dari orang-orang yang sudah memiliki menantu / penerus agar tidak merepotkan keluarganya
Terdapat pula LPD
Berikut adalah tampilan foto-foto kawasan Pura Dalem
Di bawah ini merupakan Pura yang terdapat di sebelah Pura Dalem yaitu Pura Prajapati
Kemudian terdapat juga Pura yang bernama Pura Bale Agung
Tentu di setiap desa pasti terdapat bale banjar, paud, dapur, dan sekolah
Berikut foto-fotonya :
PAUD
Tempat bermain anak-anak paud terletak di Bale Banjar seperti pada gambar dibawah ini
Dibawah ini adalah suasana Setra Adat Celuk
Di Setra ini tidak ada kuburan karena baru diadakan pengabenan massal tanggal 29 Juli 2012
Kemudian terdapat SD 3 Celuk dan TK Kumara Jaya
Kemudian, terdapat dapur
Yang bekerja di dapur adalah Ayah Suci
Ayah Suci dipilih dari orang-orang yang sudah memiliki menantu / penerus agar tidak merepotkan keluarganya
Terdapat pula LPD
Selasa, 25 September 2012
Kawasan Desa Adat Celuk 2
Di Desa Adat Celuk, terdapat beberapa pura, yaitu :
- Pura Desa
Pada Pura Desa ini, terdapat tempat yang dinamakan pelinggih Ratu Gede
Dibawah ini adalah foto penghubung antara jaba tengah dan jeroan Pura Desa
Kawasan Desa Adat Celuk Sukawati Gianyar
Desa Celuk, Banjar Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar
Desa Celuk berada di kawasan Gianyar yang terkenal dengan pengerajin peraknya.
Di Desa ini terdapat sekitar 400 KK yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai penjual dan pengerajin perak.
Desa Celuk memiliki kepala desa, kepala sinoman, kepala maksan, kepala sekaa truna-truni dan masih banyak lainnya
Perlu diketahui, Celuk memiliki 6 sinoman yaitu :
Desa Celuk berada di kawasan Gianyar yang terkenal dengan pengerajin peraknya.
Di Desa ini terdapat sekitar 400 KK yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai penjual dan pengerajin perak.
Desa Celuk memiliki kepala desa, kepala sinoman, kepala maksan, kepala sekaa truna-truni dan masih banyak lainnya
Perlu diketahui, Celuk memiliki 6 sinoman yaitu :
- Majelangu
- Maspait
- Panji
- Pekandelan
- Galuh
- Mantri
Dan saya dan keluarga saya berada pada sinoman majelangu.
Yang dimaksud dengan dengan sinoman adalah tempekan atau kumpulan keluarga yang berada dalam 1 kawasan.
Setiap sinoman memiliki tempat perkumpulan sendiri
Kemudian, maksan adalah suatu kelompok yang dikumpulkan berdasarkan leluhur
Di Celuk terdapat beberapa maksan, yaitu :
Langganan:
Postingan (Atom)