Kamis, 18 Oktober 2012

Song Sombah


Dirumah saya terdapat 3 song sombah, berikut gambarnya 



Song sombah adalah nama saluran air bagi umat beragama hindu. Setiap rumah biasanya memiliki song sombah yang beragam jumlahnya. 
Song sombah biasanya diberi canang, banten saiban dan juga segehan untuk menetralisir butha kala dan juga agar butha kala tidak masuk kedalam lingkungan rumah.

Selain itu, guna song sombah juga agar tidak terjadi banjir saat hujan. Jadi air yang menggenang dapat mengalir ke saluran pengairan

Tetapi, menurut orang-orang jaman dulu ceracaban air dari genteng tidak boleh sampai keluar rumah maka dari itu song sombah diberi banten/canang/segehan 


Perang Pandan (dikutip dari liputan 6)

Tenganan, satu dari tiga desa Bali Aga selain Trunyan dan Sembiran, merupakan desa di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, di timur Bali, dikenal sebagai masyarakat yang taat terhadap peninggalan adat leluhur.

Warga di tenpat itu turun temurun, dari generasi ke generasi, hidup dalam kesetiaan aturan yang dibuat para pendahulu. Hal ini terlihat dari kehidupan warga desa, baik anak kecil maupun orangtua, memegang teguh warisan budaya, termasuk desa adat yang tak seperti desa kebanyakan di Bali. 

Makna sembahyangan Hindu Tenganan bagi warga Desa Tenganan: manusia adalah manusia, tidak ada urusannya dengan segala jenis lapisan kelas. Pria dan wanita dipandang sama dan saling terkait, bahkan permukiman di tempat itu juga dibangun dengan cara yang unik.

Peran Dewa Indra dalam menumpas raja mereka yang lalim, Maya Denawa, melatarbelakangi keyakinan warga di tempat itu. Inilah alasan upacara-upacara persembahan terhadap sang Dewa Perang begitu menonjol.

Masyarakat Tenganan menggelar rangkaian prosesi Ngusaba Sambah, upacara keagamaan terbesar dan terpanjang di Bali Aga, selama satu bulan. Satu ritual yang tidak bisa dipisahkan, yakni menjemput simbol dewa. Satu per satu wujud para dewa diturunkan dan hanya gadis-gadis perawan yang membawanya dari bale penyimpanan, tempat pusaka dilindungi.

Kebutuhan upacara agama sangat vital bagi warga desa di bawah kaki Bukit Tenganan. Bayangkan, setidaknya ada 40-an pura tersebar di desa seluas 917,2 hektare itu. 

Pagi masih basah ketika warga desa bergerak ke Pura Kubulanglang di puncak Bukit Tenganan. Selain sebagai tempat peribadatan, pura di batas paling utara desa itu juga merupakan areal suci yang tak bisa lepas dari prosesi Ngusaba Sambah. Para muda-mudi pun bersiap naik ke puncak bukit

Sesungguhnya itu adalah rangkaian prosesi penenangan batin. Prosesi yang cuma dilakukan setahun sekali pada bulan kelima dalam kalender Tenganan. Rangkaian panjang yang puncaknya adalah Perang Pandan. 

Bagi warga desa menjaga tradisi kuno sama pentingnya dengan menjaga harga diri. Atraksi masa lampau mereka abadikan lewat sebuah permainan yang boleh jadi saat ini terbilang ketinggalan zaman. 

Begitu juga dengan sabung ayam atau tajen, tradisi yang terekam sejak lama di Tanah Dewata. Bagi lelaki Bali, khususnya warga Tenganan, ayam adalah simbol kejantanan. 

Menghormati Dewa Indra adalah harga mati. Dewa Pertempuran yang dalam ritual tahunan itu bakal mereka wujudkan dalam ajang perang pandan. 

Selain membawa sesajen ibu-ibu juga ikut mempersiapkan perang pandan dengan mencari dan memotong-motong daun pandan. Hari besar dari prosesi Ngusabah Samba tiba. 

Perang pandan atau mekare-kare, momen acara yang ditunggu-tunggu memecah sejumlah warga pada kesibukan masing-masing. Pembagian tugas itu adalah tradisi tua, jauh sebelum Bali ditaklukkan Majapahit sekitar abad ke-14. 

Senjata inti dari atraksi perang pandan adalah daun pandan berduri yang diambil dari sekitar Bukit Tenganan, meski ada pula yang tumbuh di perkampungan. 
Sebelum acara dimulai warga melakukan ritual melelawang atau berkeliling desa. 

Dari Pura Banjar, benda pusaka dan simbol dewa diarak sebagai prosesi wajib. Perang pandan tak akan digelar sebelum arak-arakan untuk keselamatan ini kembali ke Pura Banjar.

Tak ada aturan baku dalam perang pandan. Lelaki dari desa yang mengklaim keturuan dari India itu memegang potongan-potongan daun berduri dan tameng rotan. Perang pandan pun dimulai. 

Semakin cepat tempo selonding mengalun, semakin beringas petarung menancapkan pandan. Daging yang robek dan cucuran darah segar adalah wujud penghormatan terhadap Dewa Indra.

Pupuh Ginanti




Pupuh ginanti merupakan puisi bali tradisional, yang  memiliki aturan yaitu dalam satu bait terdiri dari 6 baris, setiap baris terdiri dari 8 suku kata yang mengikutinya, dan masing-masing suku kata berakhiran dengan bunyi vocal. Adapun aturan dalam pembuatan pupuh Ginanti yaitu : 8u,8i,8a,8i,8a,8i



Saking tuhu manah guru (8u)
Mituturin cening jani (8i)
Kaweruhe luir senjata (8a)
Ne dadi prabotan sai (8i)
Ka anggen ngaruruh merta (81)
Seenun ceninge urip (8i)


Juga terdapat versi lainnya :


Tambete ngawinang lacur,
Bulak balik manumadi,
Bingkih malaibin duhka,
Dekah nguber sukan ati,
Ngalih idup mati bakat,
Ngalih bajang tuwe panggih
Tambete tan liyan puniku,
Kadi kranan sami-sami,
Krana jenged kadi jantra,
Suka duhka malinder panggih,
Jani sedih nyanan girang,
Suwud girang sedih malih